NasionalPolitik

Pemilu 2024 Aman, Lancar, Jujur, Adil dan Damai

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 memasuki babak penting setelah diumumkannya secara resmi partai-partai yang lolos menjadi peserta pemilu. Rangkaian proses panjang bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk sampai pada keputusan bahwa ada 17 parpol yang lolos sebagai peserta pemilu. Mulai awal 2023, seluruh partai peserta pemilu sudah pasti akan intens dan masif melakukan komunikasi persuasif ke basis-basis konstituen, baik melalui sarana offline dengan perjumpaan langsung dengan warga maupun lewat sarana online melalui media sosial dan juga kanal-kanal komunikasi warga lainnya.

Politik elektoral akan semakin gegap gempita sehingga, sejak dini, kita harus meluruskan cara pandang tentang bagaimana seluruh pihak yang berkepentingan dengan Pemilu 2024 tetap menjaga kualitas pemilu kita agar konsolidasi demokrasi kita terjaga dan tetap menuju arah yang tepat.

Satu hal yang sangat penting terhubung dengan pemilu berkualitas ialah komitmen partai politik untuk turut menghadirkan kualitas kompetisi yang berkualitas dalam konteks keadaban demokrasi. Fragmentasi kekuatan politik dalam perebutan kuasa politik kerap melahirkan ragam fenomena sosial yang tidak seluruhnya berkorelasi positif dengan penguatan demokrasi kita. Terlebih, partai-partai tak hanya berkepentingan dengan penguasaaan teritorial di daerah-daerah pemilihan, tapi juga berkeinginan mendinamisasi situasi terhubung dengan pemenangan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.

Dalam konteks pemilu, jika masyarakat memahami pemilu sebagai mekanisme demokrasi yang dapat membawa perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik, sementara dalam praktiknya hanya menjadi rebutan jabatan di antara para elite partai politik, maka akan melahirkan hubungan disonan atau penyangkalan di tingkatan pemilih.

Ini merupakan keadaan psikologis yang tidak meyenangkan yang timbul saat dalam diri pemilih terjadi konflik di antara dua kognisi, yakni antara pengetahuan mengenai pentingnya menggunakan hak pilih sebagai wujud partisipasi politik dalam pemilu dan ketidakyakinan terhadap kualitas pelaksanaan pemilu itu sendiri. Inilah yang oleh para ahli teori disonansi kognitif seperti Festinger disebut sebagai inskonsistensi logis. Disonansi kognitif yang tak teratasi dengan baik bisa menyebabkan pemilih apatis, bahkan apolitis di kemudian hari.

Pemilu seyogianya tidak semata-mata melahirkan fantasi-fantasi tak bermakna, tetapi harus menjadi momentum pemberdayaan sehingga terbentuk pemilih rasional (rasional voter) yang memiliki daya tawar.

Komitmen parpol sebagai peserta pemilu bisa diterjemahkan lebih operasional ke dalam beberapa hal. Pertama, taat dan patuh kepada aturan main yang telah ditetapkan. Kedua, memilih calon-calon yang berkualitas baik untuk caleg maupun capres/cawapres.

Ketiga, berkomitmen untuk menguatkan peran fungsional mereka dalam kerja-kerja nyata yang bisa menguatkan warga. Keempat, secara sadar dan penuh tanggung jawab tidak menjadi bagian dari masalah dengan menghalalkan segala cara untuk menang dengan menabrak aturan main. Misalnya, melakukan kampanye hitam, menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, doxing, perundungan, persekusi, perilaku membeli suara (vote buying), bertransaksi ilegal dengan para penyelenggara, dan lain-lain. Mari kita semua ciptakan kondisi daerah yang kondusifitas dan stabilitas. Demokrasi ini harus menjadi pesta rakyat yang berkualitas untuk memilih pemimpin dan orang yang  akan mewakili di legislatif yang amanah serta memperjuangkan kepentingan rakyat.

Mari kawal agar pemilu berlangsung adil, jujur, demokratis, damai, sekaligus memiliki fungsi sebagai sebuah proses di dalam melakukan rekrutmen kepemimpinan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Pemilu adalah bagian upaya untuk terus melahirkan ataupun proses kedewasaan politik bagi warga bangsa Indonesia untuk ke depan terus tumbuh kembang menjadi bangsa yang besar, kokoh, dan kuat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *